SUMENEP, Zero.co.id – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Bung Hatta Universitas Wiraraja Madura menyoroti kondisi pendidikan di Kabupaten Sumenep yang dinilai memprihatinkan. Berdasarkan kajian dan data yang dikumpulkan, tercatat sebanyak 13.095 siswa mengalami putus sekolah, angka yang mengindikasikan adanya kegagalan struktural dalam pemenuhan hak pendidikan warga negara.
Ketua Rayon PMII Bung Hatta, Firman, menyampaikan bahwa data tersebut berasal dari Pusdatin (Pusat Data dan Teknologi Informasi). Namun, yang lebih mengejutkan adalah data yang ditampilkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep saat audiensi, yakni 13.366 siswa. Menurut Firman, ini menunjukkan bahwa angka putus sekolah di Sumenep justru lebih tinggi dari yang diperkirakan publik.
“Ini bukan sekadar data statistik, tapi cermin dari ketimpangan akses pendidikan, khususnya di wilayah kepulauan dan pelosok. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan, perlu bertanggung jawab,” tegas Firman.
Dalam forum audiensi yang digelar pada 2 Agustus lalu, PMII Rayon Bung Hatta mengungkap sejumlah penyebab utama tingginya angka putus sekolah:
-
Gagalnya Sinkronisasi Dapodik
Banyak siswa yang berada di pondok pesantren salaf tidak tercatat sebagai peserta didik dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan), sehingga memperbesar jumlah anak yang dianggap putus sekolah secara administratif. -
Sarana Prasarana yang Minim
Sejumlah wilayah terutama di kepulauan dan desa terpencil masih mengalami keterbatasan fasilitas belajar dan akses transportasi. Hal ini diakui oleh Jauhari, perwakilan PMII, sebagai faktor dominan yang membuat anak-anak kehilangan motivasi untuk melanjutkan pendidikan. -
Kesalahan Pelaporan Dapodik
Menurut perwakilan Dinas Pendidikan, Supiyanto, banyak laporan di Dapodik yang tidak mencerminkan kondisi riil. Sekolah-sekolah yang seharusnya mendapat prioritas malah dilaporkan dalam kondisi baik, sehingga tidak mendapatkan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat. Padahal DAK lebih banyak menyasar wilayah 2T dan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). -
Kurangnya Pengawasan
Samsul Arifin, kader PMII lainnya, menambahkan bahwa lemahnya pengawasan dari pihak Dinas Pendidikan juga memperparah kondisi. Evaluasi tidak berjalan maksimal, dan respons terhadap situasi di lapangan lambat.PMII Rayon Bung Hatta menyampaikan kekecewaan karena audiensi yang mereka lakukan tidak dihadiri oleh pejabat utama yang menjadi tujuan, yakni Kabid SD dan Kabid SMP. Ketiadaan mereka dianggap sebagai bentuk ketidakseriusan dalam merespons masalah yang sangat mendesak.
Dalam pernyataannya, PMII Rayon Bung Hatta mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep untuk:
-
Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap alokasi anggaran pendidikan, khususnya untuk penanganan putus sekolah secara menyeluruh dan inklusif.
-
Membentuk satgas sosialisasi pendidikan berbasis pendekatan partisipatif dan kontekstual, agar lebih efektif menjangkau masyarakat di desa dan kepulauan.
-
Menguatkan kolaborasi lintas sektor dengan tokoh masyarakat, lembaga adat, pemerintah desa, dan organisasi pemuda untuk membangun ekosistem pendidikan yang berkelanjutan.
“Kami tidak datang sebagai oposisi, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang peduli pada masa depan pendidikan di Sumenep. Jika sistem terus gagal menjamin hak anak-anak untuk belajar, kami akan terus bersuara dan bergerak,” pungkas Firman.
PMII Rayon Bung Hatta menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah bentuk komitmen moral terhadap amanat konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Penulis : Andika
Editor : Adit