SUMENEP – Perseteruan sengketa lahan di Desa Dungkek, Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, kembali memanas, Senin (26/5).
Fadly, pemilik sah tanah seluas 20.000 meter persegi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 00370, mendapat penolakan keras saat hendak menggarap sebagian lahannya sendiri.
Masalah bermula ketika pemerintah desa mengklaim telah membeli 7.600 meter persegi dari lahan tersebut sejak 2003 seharga Rp90 juta. Namun hingga kini, sertifikat kepemilikan tetap atas nama Fadly—tak ada catatan balik nama, tak ada bukti penguasaan formal.
Senin, 19 Mei 2025, rencana penggarapan Fadly dihentikan secara sepihak. Kuasa hukumnya, Herman Wahyudi, SH., geram dengan perlakuan sekelompok orang berseragam yang menghentikan aktivitas kliennya tanpa dasar hukum yang jelas.
“Mereka tidak menggunakan name tag dan tidak memperkenalkan diri. Bahkan, ketika ditanya nama, mereka hanya mengaku ‘Kacong’, sebutan umum kebanggaan masyarakat adat,” ungkap Herman saat ditemui usai insiden.
Herman menduga, penghentian itu sarat intimidasi. Salah satu oknum bahkan menunjukkan sikap arogan.
“Ada aparat yang mengaku bernama Kacong dan terlihat paling ‘jago’ mengancam akan menampar pihak pemilik tanah. Rupanya aparat tersebut belum sadar bahwa ini sudah abad 21 dan penjajah Belanda sudah pulang ke negerinya,” tegas Herman.
“Profesionalisme aparat itu mestinya melindungi dan melayani, bukan bertindak seperti preman berseragam,” tambahnya.
Respons Pemerintah Desa Masih Normatif
Sekretaris Desa Dungkek, Imam Santoso bersama Kasi Pemerintahan, Sahrudi, hanya menyebut langkah penghentian itu sebagai “penundaan sementara”.
“Bukan menghentikan, tapi sementara pending dulu sambil ada mediasi buat ada kejelasan,” kata Imam.
Sementara Camat Dungkek, Dedy Iskandar, menyatakan komitmen memfasilitasi mediasi bersama DPMD dan BPN Sumenep.
“Nanti kita akan membuatkan surat secara resmi mediasi yang sudah kita lakukan pada hari ini agar nantinya ada tindak lanjut yang akan bisa dilaksanakan,” ujarnya.
Dedy juga meminta semua pihak—baik pemerintah desa maupun warga—untuk tidak melakukan aktivitas di atas lahan sengketa hingga hasil mediasi keluar.
Kuasa Hukum: Mediasi Jangan Jadi Alat Mengulur Waktu
Herman Wahyudi tak puas dengan sikap pemerintah desa maupun kecamatan. Ia menganggap janji mediasi cuma jadi tameng untuk mengulur waktu.
“Pihak pemerintah desa tidak ada tanggapan sama sekali. Maksudnya gerakan dia itu apa bilang mau menyelesaikan itu? Itu kan cuman gerakan untuk menunda-nunda sampai mungkin ada camat berikutnya atau ada pejabat berikutnya,” sentil Herman.
Ia mendesak, jika memang Pemdes punya dasar hukum atas lahan itu, seharusnya berani gugat ke pengadilan. Bukan kirim orang ke lapangan dan mengintimidasi pemilik sah.
“Kalau memang desa merasa punya hak, ya gugat dong. Ajukan ke pengadilan atau laporkan ke polisi. Bukan main intimidasi di lapangan. Seperti kemarin itu tidak bagus, sempat ada intimidasi di lapangan sampai mau ditempeleng para penggarap,” pungkasnya.