SUMENEP– Kelompok aktivis Dear Jatim berencana untuk mengajukan laporan resmi ke Polres Sumenep terkait dugaan korupsi dalam pengadaan sembako oleh Dinsos P3A Kabupaten Sumenep pada tahun anggaran 2023.
Aktivis Dear Jatim, Alfi Rizki Ubbadi, menyoroti adanya indikasi kuat pemborosan anggaran dalam pengadaan tersebut, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Sumenep Tahun 2023 yang mengungkap adanya kejanggalan dalam realisasi Belanja Barang yang disalurkan kepada masyarakat.
Berdasarkan data laporan keuangan, Dinsos P3A Sumenep merealisasikan belanja sembako sebesar Rp1.163.550.000,00 melalui dua penyedia, yaitu Toko BA dan Toko KJ.
Namun, pemeriksaan dokumen pengadaan dan pertanggungjawaban belanja menemukan indikasi pemborosan sebesar Rp97.540.540,54 yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sumenep.
“Kami menemukan dua persoalan krusial dalam pengadaan sembako ini,” ujar Alfi Rizki Ubbadi.
“Pertama, adanya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp73.915.540,54 pada komoditas beras dan gula, yang seharusnya dibebaskan dari PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. Kedua, pembelian minyak goreng ‘Minyakita’ di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, sehingga mengakibatkan pemborosan sebesar Rp23.625.000,00.”
Alfi lebih lanjut menjelaskan bahwa Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pengadaan sembako tersebut mengaku tidak mengetahui adanya pembebasan PPN dan HET untuk Minyakita. Ironisnya,
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun justru mencantumkan komponen pajak yang seharusnya tidak ada.
“Situasi ini jelas melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pembebasan PPN atas Barang Kebutuhan Pokok Tertentu, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 41 Tahun 2022 tentang HET Minyakita.” jelasnya.
Dear Jatim mendesak aparat penegak hukum untuk segera melakukan penyelidikan mendalam terhadap dugaan penyimpangan tersebut.
“Uang rakyat seharusnya digunakan secara efektif dan efisien untuk kesejahteraan masyarakat, bukan dihambur-hamburkan melalui praktik yang jelas merugikan keuangan daerah,” tegas Alfi.
Pihaknya juga menyoroti lemahnya pengawasan dan pengendalian dari Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sumenep, yang dinilai kurang optimal dalam mengawasi pengeluaran anggaran yang menjadi tanggung jawabnya.
“Kami berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Sumenep untuk lebih berhati-hati dan memahami regulasi yang berlaku dalam setiap pengadaan barang dan jasa, terutama yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat,” pungkas Alfi Rizki.