SUMENEP – Sudah hampir sebulan kami keliling ke sejumlah daerah, menyusuri lorong-lorong produksi dan distribusi rokok ilegal.
Dari obrolan dengan warga sampai pengamatan langsung di lapangan, satu kesimpulan yang muncul: persoalan ini jauh lebih dalam dari yang terlihat.
Rokok tanpa izin edar bisa ditemukan dengan mudah, seperti barang legal yang dijual bebas tanpa rasa takut.
Masalah Lama, Respons yang Terlambat
Yang bikin kita geleng-geleng kepala, respon pemerintah justru tampak datar. Mereka baru terlihat bergerak kalau kasusnya sudah viral atau jadi perbincangan publik. Selebihnya, senyap.
Kebijakan soal rokok pun seperti karet—mudah ditarik ke mana saja tergantung siapa yang memegangnya. Tidak ada arah yang pasti, tidak ada langkah nyata yang dijalankan dengan konsisten.
Kita tidak melihat ada kreativitas, apalagi gebrakan. Pemerintah seperti menunggu masalah ini meledak lebih dulu sebelum berpikir tentang solusi.
Padahal praktik rokok ilegal ini sudah berlangsung lama dan kian mengakar. Kalau dibiarkan terus, bukan hanya negara yang rugi, tapi juga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan ikut hancur.
Ketika Aparat Pilih Diam
Bea Cukai, yang mestinya jadi ujung tombak dalam urusan ini, pun terlihat adem ayem. Padahal data dan bukti bertebaran di mana-mana.
Bahkan bisa dibilang, mereka tinggal menutup mata saja dan tetap bisa tahu di mana titik-titik panasnya. Tapi kenyataannya, mereka belum menunjukkan langkah yang cukup sigap atau menyentuh akar persoalan.
Hukum dan Kemanusiaan Harus Berjalan Beriringan
Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa rokok ilegal memberi ruang hidup bagi sebagian masyarakat kecil. Mulai dari penggulung tembakau, pengemas, hingga penjual, semua terlibat karena itulah satu-satunya sumber penghasilan yang tersedia.
Mereka bukan bandit, mereka hanya mencoba bertahan hidup. Ini kenyataan yang tak bisa diselesaikan hanya dengan razia dan ancaman pidana.
Karena itu, pendekatannya tidak bisa semata-mata hukum. Pemerintah harus hadir dengan kepala dingin dan hati terbuka. Penindakan tetap perlu, tapi tidak boleh melupakan sisi sosialnya.
Kalau hanya main sikat tanpa memberi alternatif, yang terjadi justru makin banyak warga yang kehilangan arah dan jatuh makin dalam.
Sudah waktunya kebijakan dibuat lebih adil dan berpihak pada solusi. Edukasi, pembinaan, hingga pemberdayaan ekonomi lokal harus jadi bagian dari strategi.
Tidak bisa lagi sekadar lempar wacana lalu hilang begitu saja. Ini saatnya negara hadir bukan sebagai pemadam kebakaran, tapi sebagai pembawa jalan keluar.
Masalah rokok ilegal bukan baru kemarin sore. Ia sudah lama hidup berdampingan dengan rakyat kecil.
Kini tinggal soal mau atau tidak pemerintah dan Bea Cukai benar-benar turun tangan. Karena kalau hanya duduk di balik meja, masalah ini tak akan pernah selesai—hanya berganti tempat dan bentuk. *(Rus)