Oleh: Muhammad Sutrisno
(Mahasiswa UIN Madura)
Kuliah Kerja Nyata, atau KKN, sering digaungkan sebagai wujud pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Tapi, mari kita jujur, di balik narasi mulia itu, KKN tak jarang lebih mirip ajang “liburan” berkedok “pengabdian” yang minim dampak, bahkan berpotensi jadi sumber masalah baru.
Sudah bukan rahasia lagi, banyak mahasiswa yang menjadikan KKN sebagai kesempatan untuk jauh dari pantauan orang tua dan dosen. Alih-alih fokus pada pemberdayaan masyarakat, tak sedikit yang malah asyik dengan dunia mereka sendiri. Insiden kurangnya etika berinteraksi dengan warga, membuat konten media sosial tak senonoh, hingga yang lebih parah, perselingkuhan dengan penduduk lokal, semua ini adalah bukti nyata bahwa KKN bukan lagi sekadar aplikasi ilmu, melainkan lahan subur bagi perilaku menyimpang.
Pihak kampus pun tak bisa lepas tangan. Pembekalan yang katanya “komprehensif” seringkali hanya formalitas. Teoritis belaka, tanpa menyentuh esensi adaptasi sosial dan norma budaya yang krusial. Dan apa kabar dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL)? Kebanyakan dari mereka seolah ‘melepas’ mahasiswa ke lokasi KKN, dengan pengawasan yang minim. Jangan salahkan jika mahasiswa kemudian merasa bebas melakukan apa saja, tanpa takut konsekuensi.
Pada akhirnya, yang jadi korban bukan hanya citra perguruan tinggi, tapi juga masyarakat itu sendiri. Kepercayaan yang seharusnya dibangun justru terkikis oleh ulah segelintir oknum. KKN yang seharusnya jadi jembatan antara teori dan praktik, malah jadi penghambat tujuan mulia pemberdayaan masyarakat.
Jadi, sebelum kita sesumbar tentang integritas dan kontribusi positif KKN, mari berkaca pada realita. Apakah KKN benar-benar berintegritas, ataukah hanya sekadar proyek formalitas yang menyisakan lebih banyak problematika ketimbang manfaat?